MEMASUKI TAHUN SINODE KEVIKEPAN KEUSKUPAN PADANG 28 JULI 2024 - 23 NOVEMBER 2025




“MENJADI GEREJA YANG SEMAKIN PEDULI, MANDIRI DAN BERBUAH”

Para Ibu dan Bapak, saudari dan saudara yang budiman,
Para Pastor, Suster, Bruder, Frater, kaum muda, remaja dan anak-anak,
seluruh umat Keuskupan Padang yang terkasih dalam Kristus

1. Hari Minggu tanggal 28 Juli 2024 ini kita rayakan sebagai Hari Kakek Nenek dan Lanjut Usia Sedunia yang keempat. Momen perayaan ini selalu dipilih pada hari Minggu yang berdekatan dengan Peringatan St. Yoakhim dan Anna pada tanggal 26 Juli. Bapa Suci Paus Fransiskus mengambil kutipan dari Mazmur 71:9 sebagai tema perayaan ini: “Janganlah membuang aku pada hari tuaku.” Bapa Suci mengajak kita untuk bersama-sama merenungkan: “Terlalu sering, kesepian menjadi teman suram dalam hidup kita sebagai orang tua dan kakek-nenek.” Karena krisis rasa kebersamaan dan munculnya mentalitas yang semakin individualistis, kesepian para lansia sering tidak dianggap sebagai masalah. Tetapi Gereja dipanggil untuk membangun sesuatu yang berbeda, untuk menemukan kembali rasa persaudaraan, dan untuk membangun ikatan antar generasi.

2. Saudara-saudari terkasih, ada ahli-ahli yang pernah mensinyalir bahwa abad XXI adalah abad kaum lansia. Syukurlah, berkat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi kesehatan meningkatnya jaminan umur panjang kaum lansia merupakan sebuah prestasi besar. Menjelang tahun 2050, kaum lansia diperkirakan mencapai jumlah dua milyard atau 22% dari penduduk sedunia. Umur panjang dan menjadi tua menurut Kitab Suci memang menjadi tanda berkat. Namun, sering dalam kenyataan hidup sehari-hari malah dianggap menjadi beban. Don Oreste Benzi (1925-2007), seorang imam projo Italia pendiri Asosiasi Komunitas Paus Yohanes XIII, pernah menyatakan keprihatinannya dengan cukup getir mengenai marjinalisasi kaum lansia:

“Allah menciptakan keluarga, kita manusia membangun panti-panti jompo!” Maksudnya tentu bukan melawan institusi atau lembaga-lembaga pemerhati orang tua dan kaum lansia ini. Don Benzi menyadarkan kita bahwa lebih dari sekedar infrastruktur dibutuhkan juga satu visi baru, satu konsepsi yang mampu menjadi alternatif ketidakpedulian dan pembiaran yang disebut Paus dengan “budaya membuang sampah” (la cultura dello scarto). Saya pernah mendengar komentar dari seorang umat, sukarelawan yang sering mengunjungi para lansia di rumah jompo, “semoga nanti ketika menjadi tua tidak seperti mereka.” Artinya, menjalani masa tua sendirian di panti jompo kalau bisa dihindari.

3. Dalam konteks pemikiran ini, doa permohonan pemazmur itu: “Janganlah membuang aku pada hari tuaku,” semakin memberi kesan keras dan kasar. Kita juga diingatkan akan jeritan Yesus sendiri di atas salib: “Allah-Ku, ya Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Namun, berangkat dari narasi Kitab Suci yang indah tentang hubungan kasih antara si nenek janda Naomi dan Rut mertuanya yang masih muda, Bapa Suci meyakinkan kita bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita:

“Bagi kita semua yang terbiasa dengan gagasan bahwa kesendirian adalah takdir yang tidak dapat dihindari, Rut mengajarkan bahwa dalam menanggapi permohonan “Jangan tinggalkan aku”, adalah mungkin untuk menjawab, “Aku tidak akan meninggalkanmu”. Rut tidak ragu-ragu untuk menumbangkan apa yang tampaknya merupakan situasi yang tidak dapat diubah: hidup sendirian tidak perlu menjadi satu-satunya alternatif! Bukanlah suatu kebetulan, Rut – yang tetap berada di sisi Naomi yang sudah lanjut usia – adalah nenek moyang Mesias (bdk. Mat. 1:5), Yesus, Immanuel, “Allah menyertai kita”, yang membawa kedekatan Allah sendiri kepada semua orang, dari segala usia dan kondisi kehidupan.”

Jadi para orang tua, kakek nenek dan kaum lansia yang dikasihi Tuhan, bersama Bapa Suci, Paus Fransiskus, saya hendak meyakinkan hal yang sama. Allah tidak ragu untuk memilih kalian yang bagi banyak orang, mungkin tampak tidak relevan. Allah tidak membuang satu batu pun; bahkan, batu-batu yang “tertua” menjadi pondasi yang kokoh di mana batu-batu yang “baru” dapat bertumpu, untuk membangun sebuah bangunan rohani (bdk. 1 Ptr. 2:5).”

4. Saudara-saudari yang terkasih, Perayaan Hari Kakek Nenek dan Lanjut Usia Sedunia Keempat ini sekaligus hendak kita jadikan momen pembukaan Tahun Sinode Kevikepan. Dengan sapaan kegembalaan ini saya mengajak seluruh umat Keuskupan Padang, khususnya di kevikepan masing-masing untuk menggalakkan semangat bersinode, yakni ikut berjalan bersama merasakan keprihatinan yang ada di gereja-gereja paroki di mana kita terlibat dan ikut menjadi bagian di dalamnya. Tahun Komunitas Basis yang telah kita lalui bersama membawa hasilnya yang semakin meningkatkan rasa memiliki (sense of belongings) dan semangat keterlibatan kita dalam keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas setempat. Kini saatnya kita membaktikan setahun ke depan untuk merefleksikan bersama gerak kita sebagai umat satu paroki yang berjalan bersama dengan paroki-paroki lain di dalam satu kevikepan. Seperti dikatakan dalam Instruksi Pastoral tentang Pertobatan Komunitas Pastoral Parokial:

“Paroki adalah kehadiran Gereja dalam wilayah tertentu, suatu lingkungan untuk mendengar sabda Allah, untuk bertumbuh dalam hidup Kristiani, untuk dialog, pewartaan, tindakan karitatif berjangkauan luas, ibadat dan perayaan,” dan ia menegaskan lagi bahwa paroki adalah “komunitas dari pelbagai komunitas” (CP no.27).

5. Umat beriman yang dikasihi Tuhan, kita hidup di dalam dunia yang lebih terartikulasikan dibanding masa-masa sebelumnya, di dunia yang lebih ditandai oleh pluralitas budaya-agama dan konflik lintas generasi. Apakah
yang dapat dibuat oleh satu paroki dalam situasi perubahan semacam ini? Apakah paroki mampu menghadapi satu gaya hidup yang baru yang makin dituntut di mana-mana? Apakah paroki mampu dalam situasi baru yang semakin mendunia ini, mewartakan kesegaran dan sukacita Injil? Mungkin ada rasa gamang, ada rasa tidak percaya diri dan tidak tahu bagaimana melangkah bersama. Saya mengajak saudara-saudari sekalian untuk tetap percaya dan ikut terlibat dalam musyawarah pastoral di tingkat kevikepan ini untuk dapat merumuskan bersama tantangan dan peluang yang kita miliki seturut konteks paroki kita masing-masing.

6. Bacaan Injil pada hari Minggu ini tentang pergandaan roti, menyiratkan undangan untuk beralih dari satu mentalitas yang berdasarkan perhitungan efisiensi dan kalkulasi matematis, menjadi gaya hidup yang ekaristis dan penuh rasa syukur. Tanggapan kurang beriman, seperti nampak dalam jawaban Filipus dan Andreas (lih. Yoh 6:7-9), bisa disederhanakan dengan ungkapan: “mana mungkin?” atau “apalah artinya.” Dalam zaman modern yang mengagungkan produktivitas dan efisiensi ini, jawaban kedua murid itu seperti mewakili satu keputusasaan generasi yang menganggap bahwa satu kehidupan yang menjadi beban, mustahil diatasi, tidak ada solusinya. Akibatnya, keputusasaan ini cenderung membuahkan pembiaran dan ketidakpedulian yang bisa semakin meluas. Akan tetapi, inilah tugas Gereja, seperti sabda Yesus: “…kamu harus memberi mereka makan.” (Mat. 14:16). Banyaknya umat kita yang masih tergolong miskin, khususnya dalam hal pendidikan dan taraf kehidupan, tidak harus membuat kita berkecil hati. Menjadi Gereja yang makin mandiri dan berbuah itu nampak dalam prinsip subsidiaritas dan solidaritas yang makin dapat dirasakan oleh semua pihak. Begitu juga kaum lanjut usia bukanlah beban, karena tanpa mereka tidak ada masa depan. Magisterium atau keabsahan pengajaran yang diberikan oleh kakek nenek inilah yang membuat kita selalu sanggup belajar dari sejarah untuk menanggapi masa depan.

7. Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para Ibu dan Bapak, para imam, frater, suster dan bruder, adik-adik kaum muda, remaja dan anak-anak semua yang dengan beraneka cara terlibat dalam kehidupan menggereja di tempat masing-masing, khususnya dalam memberi perhatian untuk para lansia kita. Bersama Bapa Suci pada hari Kakek-Nenek dan Lanjut Usia Sedunia ini, saya juga mengajak Anda sekalian, “marilah kita tunjukkan kasih sayang kita kepada kakek-nenek dan anggota keluarga kita yang sudah lanjut usia. Marilah kita meluangkan waktu bersama mereka yang berkecil hati dan tidak lagi berharap pada kemungkinan masa depan baru.”

Salam belas kasih,

+ Vitus Rubianto Solichin
Uskup Padang

Komentar